"Listrik Nyala 3 Jam, Kami Sudah Bersyukur"

 

Detik.com, Kami hidup bersama warga Desa Terpencil di NTT yang bergantung pada genset tua. "Kalau mau kulkas, harus ke kota 5 jam naik motor," ujar Markus sambil menunjuk lampu minyak di rumahnya. Laporan rasio elektrifikasi 99% di pusat tak menggambarkan realita 12 jam gelap yang mereka jalani tiap hari. Ini bukan sekadar berita, tapi denyut kehidupan yang terabaikan.

 

Sekolah Tanpa Atap, Tapi Penuh Semangat

 

Di Sulawesi Tengah, anak-anak SD tetap berseragam rapi meski langit-langit kelas mereka bolong. "Kalau hujan, kami pindah ke ruang guru," kata seorang murid sambil memeluk buku basah. Anggaran pendidikan triliunan tak berarti apa-apa ketika atap sekolah tetap bocor bertahun-tahun. Kami tak hanya meliput, tapi ikut merasakan tetesan air hujan yang jatuh di buku tulis mereka.

 

Pasar Tradisional yang Terengah-engah

 

"Sejak ada minimarket, dagangan saya susah laku," keluh Bu Siti pedagang sayur di pinggir Bandung. Kami catat betapa para pedagang kecil ini bertahan dengan untik Rp 20.000 per hari, sementara waralaba modern merebut pelanggan mereka. Ini bukan data statistik, tapi denyut nadi ekonomi riil yang semakin lemah.

 

Dokter yang Jadi "Tuhan" di Daerah Terisolir

 

Dr. Andi rela ditempatkan di puskesmas tanpa obat di Papua. "Saya hanya bisa kasih vitamin dan doa," katanya lirih. Kami saksikan betapa satu-satunya stetoskop di puskesmas itu sudah rusak, tapi ratusan pasien tetap mengantri. Laporan indeks kesehatan nasional tak pernah mencakup air mata pasien yang harus berjalan 2 hari untuk berobat.

Kami menulis dengan kaki berlumpur dan keringat bercampur debu. Setiap kata adalah denyut jantung warga yang tak punya akses ke media. Bagi mereka, kami adalah corong terakhir untuk menyampaikan: "Kami masih ada, kami masih berjuang." Ini lebih dari jurnalisme - ini adalah tugas kemanusiaan untuk memastikan tak ada satu pun napas warga pinggiran yang hilang dalam gemuruh pembangunan.